Perjalanan Sepiring Daging Anjing

Rumah makan khas suku Batak berdinding kuning, menghiasi pinggir jalan di seberang halte BKN, jalan Mayjen Sutoyo, Cililitan, Jakarta Timur. Di bawah rindangnya pohon kersen, Lapo ini menjual aneka makanan dengan menu khas suku batak, seperti lomok-lomok, naniura, arsik ikan mas, olahan daging anjing, olahan daging babi, dll. Tiga meja panjang dan enam kursi panjang terbuat dari kayu menghiasi Lapo sederhana milik J (60). Sop daging anjing merupakan salah satu menu khas dalam Lapo ini. J memasang harga 30 ribu rupiah setiap porsinya.

“Saya di sini kalah saing, kalo lapo sebelah pesan daging anjing (mentah) bisa lebih dari lima kilo sehari, saya hanya sekitar satu sampe dua kilo per hari,” ungkap pria berbaju biru itu.

Untuk memenuhi kebutuhan daging anjing yang ia perlukan, J membeli daging anjing di pasar Jatibening, Pasar Senen, atau di tempat pemotongan anjing yang berada di Gang Bersama yang tidak jauh dari Lapo miliknya.

“Justru karna ada lapo kita berada dan berdiri. Lapo disini banyak,”  ungkap pemilik rumah potong anjing, Marni Silitonga Boru Gultom.

Sambil menunjukan catatan pembukuannya, Marni mangatakan bahwa di daerah Cililitan khususnya jalan Mayjen Sutoyo terdapat lebih dari sepuluh lapo. sehingga usaha pemotongan anjing ini mendatangkan keuntungan yang menjanjikan. Apalagi dari tiga tempat pemotongan hewan di daerah Mayjen Sutoyo, hanya tempat pemotongan milik Marni lah yang menyediakan daging anjing mentah.

“Tempat pemotongan disini banyak. Sebelum gereja HKI ada dua tempat pemotongan. Cuma mereka  ga motong anjing, cuma motong babi aja. Kalo pemotongan  anjing, disini aja,” ungkap Marni menjelaskan.

Selain menjual daging anjing, Marni juga menjual daging babi dan daging sapi. Satu kilogram daging anjing mentah, Marni jual dengan harga 60.000 rupiah. Setiap lapo yang memesan daging anjing tidaklah menentu, tergantung kebutuhannya, ada yang sampai lima kilogram per hari. Kecuali seperti restoran-restoran khas makanan Korea yang bisa membeli daging anjing hingga 20kg dalam sekali beli.

Hampir semua warga tahu bahwa rumah berwarna oranye berlantai dua di Gang Bersama merupakan tempat pemotongan anjing. Usaha pemotongan anjing ini sudah dirintis sejak 38 tahun yang lalu yang  didirikan oleh almarhum ibu dari almarhum suami Marni. Marni dan  delapan karyawannya adalah generasi kedua yang menjalani usaha ini. Mereka sudah menjalankan usaha ini selama lima tahun setelah kepergian mertua Marni, Ria Boru Gultom.

Marni menceritakan bahwa awal mula berdirinya usaha pemotongan anjing ini yaitu saat  dahulu mertuanya mengambil sisa-sisa potongan tubuh anjing di restoran-restoran yang sudah tidak terpakai, seperti bagian kepala, bagian kaki, dll. Sisa-sisa potongan anjing itu, Ria kumpulkan lalu dijajakan dan dijual dari rumah ke rumah atau terkadang dikonsumsi sendiri bersama keluarganya. Oleh karena keuletan Ria dalam menjajakan daging anjing itu, akhirnya ia dapat mendirikan usaha pemotongan anjing ini yang masih bertahan sampai saat ini.

Namun, sekarang Marni sudah memiliki pemasok anjing sendiri, yang kebanyakan berasal dari luar daerah, seperti Cikampek dan Sukabumi. “Dari Cikampek, Sukabumi, pokoknya dari luar daerah. Tapi ada juga orang yang nganter kesini. Dia itu bawa motor atau gak mobil. Mereka datang mendadak, kalo ada stok baru disetor,” ungkap Marni.

Marni biasa membeli tujuh sampai sepuluh ekor anjing setiap harinya. Namun, biasanya untuk akhir pekan, jumat sabtu dan minggu, Marni biasa membeli anjing lebih banyak, yaitu 20 ekor per harinya.  Pembelian pun bisa jauh meningkat jika memasuki hari raya besar, seperti Lebaran. Sebanyak 50 ekor anjing bisa dibeli oleh Marni setiap harinya.

Mulut dan kaki terikat dengan sepotong tali rafia. Tidak terlalu panjang, yang penting bisa mengikat kaki dan mulut anjing dengan kencang. Itulah kondisi anjing-anjing saat disetor ke Marni. Hal itu dilakukan oleh pengepul supaya anjing tidak menggigit maupun mencakar. Jika dari pihak pengepul tidak mengikat kaki dan mulutnya, Marni tidak akan membeli anjing tersebut karena takut digigit.

Marni mengaku tidak tahu menahu  mengenai kesehatan anjing yang ia dapatkan dari para pengepul. Menurutnya, hal itu merupakan tanggung jawab dari pengepulnya. Meski demikian, Marni tidak membeli anjing dengan asal-asalan. Ia akan melihat fisik anjing terlebih dahulu. Anjing yang akan Marni beli yaitu jika fisiknya tidak kurus dan kulitnya tidak luka-luka.

Talenan kayu dan berbagai bentuk pisau, mulai dari yang kecil hingga yang besar, menghiasi tempat pemotongan anjing milik Marni. Saat memasuki ruang penjagalan,darah anjing yang bercampur darah babi masih berceceran di lantai. Bau amis darah pun sangat menyengat. Debu yang sudah mengeras, menutupi lantai pada anak tangga menuju lantai dua, yaitu tempat penampungan anjing sementara sebelum anjing itu menemui ajalnya.  

Sisi kiri setelah menaiki anak tangga, terdapat sebuah ruangan dengan pintu jeruji besi yang sudah berkarat. Ruangan dengan satu lampu redup menyinari anjing-anjing yang berada di sana. Saat itu, terdapat tiga anjing yang sebagian besar badannya terbungkus karung dengan mulut yang diikat dengan tali rafia. Terdapat dua sepeda tua dan usang yang menghiasi sudut ruangan tanpa ventilasi itu.

”Kalo yang masih hidup dan belum dipotong itu, didiemin aja disitu, ga dikasih makan. Kalo kita kasih makan, takutnya mereka yang makan kita,” ujar Marni sambil tertawa kecil.

Menurut Marni, anjing-anjing itu tidak langsung dipotong karena Marni tidak ingin menjual daging anjing yang dibekukan. Karyawan di sana akan mulai memotong jika ada pesanan. Cara memotong anjingnya pun tidak asal-asalan. Pertama, anjing tersebut akan dipukul kepalanya hingga mati, kemudian ditusuk badannya agar darahnya keluar, lalu dibakar.

Marni mengatakan bahwa komunitas-komunitas pecinta anjing tidak pernah protes ke tempat pemotongan anjing miliknya karena Marni dan delapan karyawannya memotong jenis anjing kampung dan bukan anjing ras. Selain itu, dinas peternakan maupun dinas kecamatan atau kelurahan setiap tiga bulan sekali melakukan survey ke tempat pemotongan anjing ini. Mereka cek fisik,  seperti mengecek kebersihan maupun kondisi kandang. 

Bisnis ini tidak mengganggu tetangga karena menurut Marni, masyarakat disini tidak berkelompok-kelompok. Toleransi di sini terjaga, dilihat dari belum pernah ada protes terhadap usaha yang dijalankan Marni. Selain itu, di daerah ini terdapat 12 gereja dan banyak masjid, serta masyarakatnya hidup berdampingan.

Memasuki bulan puasa ini, pesanan daging anjing semakin besar karena warung-warung makan yang biasanya buka, pada bulan puasa tutup. Hanya lapo yang buka, sehingga banyak orang beralih untuk makan di lapo.

“Kalo lagi bulan puasa gini mah susah, nganter ke Jakartanya soalnya lemes lah, ngantuk lah, laper lah,” ungkap pengepul anjing di daerah kampung Cibodas, Mimin (55).

Tempat pemotongan anjing milik Marni Silitonga di Cililitan, tak lepas dari anjing-anjing yang berasal dari Sukabumi, tepatnya yang berada di kampung Cibodas, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Menurut Mimin, pemerintah setempat dan warga sekitar di daerah ini sudah mengetahui usaha penampungan anjing ini karena usaha ini sudah dijalani oleh Mimin sejak tahun 1992.

Kandang anjing delapan pintu yang terbuat dari kayu, menghiasi halaman rumah milik Mimin. Anjing-anjing yang dibeli oleh Mimin dikumpulkan sementara pada kandang itu sebelum dibawa ke Jakarta menggunakan minibus.

Mimin mendapatkan anjing-anjing tersebut dari berbagai daerah, seperti dari Bojong Lopang, Jampang, Cianjur, Cikidang, Parakan Salak, Sukabumi, dan masih banyak lagi. Dalam transaksi jual beli antara Mimin dengan penjual anjing, Mimin membeli anjing dihitung dari per ekornya. “Disini dihitung per ekor. Kalo kecil seratus kebawah, kalo yang gede paling mahal seratus tiga puluh ribu,” jelas Mimin.

Tidak ada kepastian pendapatan Mimin per harinya karena tidak ada kepastian juga kapan penjual anjing akan menjual anjingnya kepada Mimin. “Tergantung yang bawanya aja. Kayak hari ini ga ada sama sekali. Kalo lagi banyak, 30 ekor anjing dapet. Kalo lagi gaada mah, gaada sehari semaleman. Ini dari kemarin gak ada. Cuma ada satu,” tutur Mimin.
Mimin pun tidak tahu asal muasal anjing yang dibawa para penjual anjing ke tempat penampungan Mimin. Namun, ia tidak menyangkal bahwa sebagian para penjual anjing mendapatkan anjing dari hasil mencuri.

“Gatau mereka dapetnya dari mana. Tapi, ada juga yang nyuri anjing orang lain terus di jual kesini,” jelas Mimin.

Selain itu, tidak ada jadwal tetap kapan Mimin hendak mengantarkan anjing-anjing yang berada dalam penampungan sementara ini ke Jakarta. Menurut Mimin, hal tersebut tergantung dari tempat pemotongan anjingnya. Jika di sana persediaan sudah habis, maka mereka akan menelepon Mimin untuk memesan. Setelah itu, baru dikirim. Jika di sana persediaan masih banyak, maka anjing-anjing itu ditampung dahulu di tempat ini.

Namun, Mimin mengatakan jika terdapat anjing yang mati di kandang, maka ia akan segera membuangnya ke sungai di samping rumahnya. Selain itu, anjing-anjing  yang belum di setor ke Jakarta tidak dikasih makan.

“Kalo (anjingnya) banyak mah ngga dikasih makan, berapa liter atuh. Tapi kalo dikit, satu gitu, dikasih makan, kasian,” tambah Mimin dengan logat khas Sundanya.
Tempat pemotongan anjing di Jakarta tidak memasang target pembelian ke penampungan, tetapi disesuaikan dengan stok yang ada di tempat penampungan anjing. Mimin menjual anjing-anjing tersebut ke Jakarta dengan memasang harga 150ribu sampai 170ribu per ekor anjing.

Selain menjadi tempat penampungan anjing sementara, tempat ini sering didatangi oleh para pemilik anjing yang mencari hewan kesayangannya, jika hilang. Mimin tidak tahu bahwa anjing itu menghilang dari pelukan majikannya. Ia hanya membeli anjing dari orang-orang yang menjual anjing kepadanya. Terkadang para pemilik anjing itu membayar setengah harga, tetapi ada juga yang sama sekali tidak membayar.

Bagi Mimin dan orang-orang yang bekerja di bidang jual beli anjing ini , usaha tersebut merupakan peluang dan sarana untuk mencari rezeki. “Yang penting kan tau haram jadi gausah dimakan. Disini mah cuma penampungan, cari rezeki aja,” ujar Mimin.

Salah satu pecinta anjing, Shella Natalia (20), mengaku dalam kurun waktu enam tahun sudah sekitar 20 kali kehilangan anjing peliharaannya. Ia tidak tahu apakah anjing-anjingnya itu tersesat atau diculik. Yang ia tahu bahwa anjing-anjingnya tidak pernah kembali ke rumahnya di daerah Cikidang.

Sebagai pecinta anjing, Shella tentu tidak pernah makan daging anjing karena menurutnya anjing merupakan hewan peliharaan manusia yang tidak layak dikonsumsi.
“Menurut saya, anjing adalah hewan peliharaan yang dapat dikatakan sangat setia dan dekat dengan manusia,” ujar Shella menambahkan saat diwawancarai lewat obrolan via media sosial, Line.

Tetapi, Shella juga mewajarkan adanya  budaya mengonsumsi daging anjing. Shella menjelaskan bahwa ada yang menganggap anjing  adalah anak mereka sendiri, tetapi ada juga yang menganggap anjing selamanya adalah hewan, yang sama seperti ayam, bebek, dll. Namun, ada pula golongan yang menentang pengonsumsian daging anjing karena ajaran yang mereka anut menganggap anjing adalah hewan yang haram.


Menurutnya, wajar tidak wajar dalam mengonsumsi daging anjing itu tergantung dari 
budaya dan kepercayaan setiap orang yang menyebabkan perbedaan sudut pandang. 


Dibuat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester mata kuliah feature writing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Hulu Hilir Selokan Mataram

Before The Flood: Belajar Mencintai Alam

Pelangi: Toleransi dan Keberagaman