REALITAS REALITY SHOW
Masih ingatkah dengan program reality show Termehek-mehek? Pada masanya Termehek-mehek meraih kesuksesan. Hal itu terlihat dari tingginya
rating, yaitu dengan average rating mencapai 7.2, dan share 26.6 (berdasarkan
Nielsen dalam artikel di kompas.com tulisan Pracoyo Wiryoutomo). Berkaca dari kesuksesan Termehek-mehek,
stasiun televisi lainnya seakan berlomba-lomba untuk membuat program serupa.
Seperti program Tercyduk di SCTV, Katakan Cinta di RCTI, Terangkanlah dan Bikin Mewek di ANTV, Katakan
Putus di Trans TV, dan masih banyak lagi. Program-program tersebut memiliki
konten yang sama yaitu membantu seseorang (read: klien) untuk menyelesaikan
suatu masalah keluarga atau pun percintaan.
Widyaningrum dan Christiastuti menyatakan reality show adalah suatu acara yang menampilkan realitas kehidupan
seseorang yang bukan selebriti (orang awam), lalu disiarkan melalui jaringan
TV, sehingga bisa dilihat masyarakat. Reality
show tak sekedar mengekspose kehidupan orang, tetapi juga ajang kompetisi,
bahkan menjahili orang[1].
Selain itu, menurut Motulz Media Center, reality
show secara istilah berarti pertunjukan yang asli, tidak direkayasa, dan
tidak dibuat-buat. Kejadiannya diambil dari keseharian, kehidupan masyarakat
apa adanya, yaitu realita dari masyarakat[2].
Dari pengertian
tersebut jelaslah bahwa reality show
merupakan program televisi tentang kehidupan sosial yang berdasarkan kisah
nyata, asli, tidak dibuat-buat, dan menampilkan realitas kehidupan orang awam
(bukan selebriti).
Menciptakan Sebuah Realitas
Termehek-mehek merupakan sebuah reality show yang membantu klien untuk
mencari orang hilang. Mengangkat label sebagai reality show, Termehek-mehek seolah menguatkan persepsi bahwa tayangan itu
benar-benar kisah nyata. Namun, apakah benar Termehek-mehek benar-benar real
(sesuai kenyataan di dunia nyata)?
Wakil Ketua Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Fetty Fajriati Misbach menyebut jika Termehek-mehek telah membohongi penonton
karena acara itu bukanlah sepenuhnya realita. Fetty menyebut seharusnya tim
program Termehek-mehek jujur dengan
menyebut Termehek-mehek sebagai drama
reality (sebuah cerita asli yang mengalami proses dramatisasi)
bukan reality show[3].
Berdasarkan pernyataan
tersebut, sudah dapat dipastikan bahwa program Termehek-mehek tidaklah real.
Pada awalnya Termehek-mehek menamakan
programnya sebagai reality show,
namun realitas yang ditampilkan disini bukanlah realitas yang sebenarnya,
melainkan telah melalui proses penciptaan ulang. Kondisi ini lah yang
disebut dengan hiperealitas media. Keadaan di mana kesemuan dianggap lebih
nyata dari pada kenyataan, kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran,
isu lebih dipercaya ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang
kebenaran[4].
Dalam kasus ini, media tidak lagi menjadi cerminan
realitas, melainkan media itu menjadi
realitasnya sendiri atau bahkan lebih real dari pada realitas[5]. Dengan memakai label
sebagai reality show, tidak menutup
kemungkinan penonton akan menganggap bahwa tayangan tersebut real tanpa rekayasa dan menganggap bahwa
kejadian-kejadian dalam setiap episodenya merupakan cerminan dari masyarakat
sebenarnya. Padahal dunia nyata tidak sepenuhnya seperti itu. Penggambaran
kejadian dalam setiap episodenya merupakan sebuah proses penciptaan kembali
untuk membentuk realitas baru sesuai keinginan tim produksi. Dalam hal ini,
penonton dibohongi karena program reality show yang dianggap real tanpa
rekayasa ini, ternyata tidak sepenuhnya nyata. Akan lebih baik jika dari awal Termehek-mehek melabelkan dirinya
sebagai drama reality, sehingga pembohongan publik tidak terjadi.
Reality Show:
Kadang Tak Ada Logika

Dua orang pembawa acara dan kliennya terlihat sedang
membuntuti seorang target dengan menggunakan kamera tersembunyi. Pemantauan
tersebut dilakukan untuk mengungkap masalah apa yang sebenarnya terjadi antara
klien dan target. Pemantauan biasa
dilakukan berhari-hari untuk mendapatkan bukti yang kuat. Setelah bukti
terkumpul, host dan klien akan mendatangi target untuk meminta klarifikasi
terkait masalah yang terjadi. Selama proses tersebut, seringkali terlihat
adanya pertengkaran atau konflik antara host, klien, dan target. Hanya terdapat
dua ending dalam setiap episodenya, sang klien putus cinta dengan sang target atau mereka tetap berpacan.
Di akhir cerita, kedua host tersebut memberikan nasehat tentang cinta. Inilah
reality show Katakan Putus di
TransTV.
Salah satu bentuk reality
show yaitu hidden camera,
yaitu kamera video yang diletakkan tersembunyi dan digunakan untuk merekam
orang dan aktivitasnya tanpa mereka ketahui/menyadarinya. Dalam program acara hidden camera, produser menggunakan
camera tersembunyi untuk menangkap aktivitas orang tak terduga dalam situasi
biasa atau tak masuk akal[6].
Program Katakan Putus merupakan jenis reality show berbentiuk hidden camera karena host beserta kliennya mencari informasi
dengan memata-matai target menggunakan kamera tersembunyi. Sesuai namanya, pengambilan gambar yang
dilakukan haruslah bersifat tersembunyi, tanpa diketahui target. Namun, jika
diamati dengan lebih teliti, beberapa angle kamera terlihat tidak seperti
menggunakan kamera tersembunyi alias dalam sepengetahuan target.
Saya pernah menonton
salah satu episode Katakan Putus. Terlihat
target sedang berjalan masuk ke halaman rumah. Posisi kamera ada di
halaman rumah itu dan kamera tersebut dapat merekam si target sedang memasuki
halaman rumah. Hal itu menunjukan bahwa seakan kameramen mengetahui apa yang
terjadi di masa depan, kameramen seakan-akan sudah mengetahui bahwa target akan
memasuki halaman rumah. Selain itu, pengambilan gambar dilakukan oleh dua
kamera. Hal itu terlihat dari angle kamera yang berbeda-beda.
Setelah itu,
terlihat target sedang berbincang dengan ibunya di halaman rumah. Seakan
semuanya terjadi kebetulan, kedua kamera tersebut dapat merekam keduanya dengan
posisi yang bagus. Si target dan ibunya tidak membelakangi kamera, sehingga
penonton dapat menyaksikan percakapan mereka dengan jelas. Hasil tayangan dari
kamera tersembunyi itu pun bersih atau clear,
hanya terhalang daun dan ranting-ranting kecil saja. Gambarnya pun shaking karena tidak menggunakan tripod (read: ada kameramennya).
Lantas, kamera beserta kameramen bersembunyi dibalik apa? Logikanya, pasti akan
sangat mudah untuk mengetahui keberadaan kameramen tersebut, bukan?
Tayangan yang
katanya asli tanpa rekayasa ini pun seringkali menggelitik logika. Pengintaian
host dan klien terhadap target dilakukan dengan menggunkan kamera tersembunyi.
Jarak antara kamera tersebunyi dengan target pun jauh supaya tidak ketahuan.
Namun, saat target sedang berbicara, suara target sangat terdengar jelas dan
bersih, tanpa ada noise. Secara
logika, jarak yang jauh tersebut tidak memungkinkan adanya hasil suara yang
bersih, kecuali si target telah dipasang microphone
atau clip on terlebih dahulu.
Privasi, Kepentingan Publik, dan
Komodifikasi Aib

Saya pernah
menonton salah satu episode Bikin Mewek. Episode
tersebut menceritakan tentang seorang laki-laki (klien) yang ingin mencari
istrinya yang sudah lama meninggalkan rumah. Host dan klien mencari informasi
seputar keberadaan istrinya selama berhari-hari. Tidak jarang dalam pencarian
informasi, pertengkaran dan konflik terjadi. Setelah mendapatkan informasi yang
cukup mengenai keberadaan istri klien, mereka mendatanginya dan meminta ia
untuk kembali ke rumah bersama si klien. Namun, istrinya menolak karena
menurutnya si klien adalah suami yang jahat, tidak memberi nafkah, dan sering
melakukan kekerasan. Selain itu, sang istri telah dijodohkan oleh orang tuanya
dengan laki-laki lain. Tidak terima dengan hal itu, klien pun mengamuk,
marah-marah kepada sang istri, laki-laki yang dijodohkan dengan sang istri,
bahkan mengamuk kepada mertuanya sendiri. Dalam episode itu terlihat konflik
yang begitu panas. Amarah, tangis, dan perkelahian ditampilkan bahkan mertuanya
yang terkena serangan jantung pun ditampilkan. Perkara di dalam rumah tangga
yang merupakan aib keluarga kini menjadi tontonan publik. Untuk meningkatkan
rating dan share yang tinggi, tim produksi menjadikan aib sebuah keluarga
sebagai sebuah komoditas.
Dalam tinjauan
ekonomi politik media, terdapat istilah komodifikasi. Menurut Vincent Mosco komodifikasi
merupakan proses merubah nilai guna suatu komoditas yang laku di pasaran
sehingga menjadi nilai tukar yang besar[7].
Dalam kasus ini, aib sebuah keluarga diubah melalui teknologi
yang ada menuju sistem intepretasi yang penuh makna dan dijadikan sebagai konten
yang menjual[8]. Hal ini lah yang dikatakan
Vincent Mosco sebagai komodifikasi konten.
Setelah konten
dikomodifikasi, para pengelola televisi pun menjadikan pemirsa sebagai ‘produk’
yang dijual kepada para pengiklan (berbentuk rating), sehingga pengiklan mau
membayar slot atau durasi iklan kepada televisi. Fenomena inilah yang disebut
sebagai komodifikasi pemirsa.[9]
Dengan adanya kepentingan
ekonomi, konten pun dibuat sedemikian rupa agar diperoleh rating yang tinggi
yang dapat menghadirkan para pengiklan. Konten tersebut pun seringkali bukan
untuk kepentingan publik. Contohnya seperti tayangan episode Bikin Mewek di atas, sama sekali tidak ada
gunanya untuk kepentingan publik. Selain itu, tayangan tersebut menyalahi hak
privasi dalam pasal
13 dan 14 SPS KPI tahun 2012.
Yang berbunyi program
siaran wajib menghormati hak privasi dalam kehidupan pribadi objek isi siaran,
yaitu tidak berniat merusak reputasi objek yang disiarkan, tidak memperburuk
keadaan objek yang disiarkan, tidak mendorong berbagai pihak yang terlibat
dalam konflik mengungkapkan secara terperinci aib dan/atau kerahasiaan masing
masing pihak yang berkonflik, tidak menimbulkan dampak buruk terhadap keluarga,
tidak dilakukan tanpa dasar fakta dan data yang akurat, harus menyatakan secara
eksplisit jika bersifat rekayasa, tidak menjadikan kehidupan pribadi objek yang
disiarkan sebagai bahan tertawaan dan/atau bahan cercaan, dan tidak boleh
menghakimi objek yang disiarkan[10]. Berdasarkan
peraturan tersebut, jelas bahwa reality
show Bikin Mewek tidak menghormati hak privasi karena melanggar pasal-pasal
dalam Standar Program Siaran KPI.
Rating atau Kepentingan Publik?
Bukan hanya Bikin Mewek saja, reality show lainnya juga kerap kali mengabaikan peraturan tersebut,
termasuk reality show Katakan Putus
dan Termehek-mehek yang sudah
mendapatkan teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait konten
kekerasan dan hak privasi. Walaupun terdapat peraturan, tayangan-tayangan
semacam itu nyatanya masih ada bahkan semakin banyak. Mungkin ada benarnya
juga, celotehan ‘peraturan dibuat
untuk dilanggar’.
Banyaknya
pelanggaran yang terjadi, KPI harusnya lebih tegas dalam memberikan sanksi
supaya tayangan seperti ini tidak semakin banyak bahkan supaya dapat hilang
untuk selamanya. Selain itu, mengingat tayangan seperti ini tidak berguna bagi
masyarakat, kita sebagai penonton harus bisa menekan produksi tayangan seperti
ini. Tayangan-tayangan semacam ini terus berjamuran karena rating yang tinggi,
sehingga mendatangkan pengiklan. Oleh karena itu, pertama-tama kita harus sadar
bahwa tayangan ini tidak bermanfaat, bukan kepentingan publik, dan melanggar
privasi orang lain.
Setelah itu, coba berhenti untuk tidak menonton tayangan
seperti ini lagi supaya rating program reality
show tersebut tidak tinggi, sehingga (mungkin) lama-kelamaan produksinya
akan dihentikan.
Begitu pula bagi
para produser acara, jika
ingin tetap membuat program seperti itu, jangan melabelkan diri dengan sebutan
reality show, tetapi sebutan saja drama reality. Selain itu, sebaiknya
dalam memproduksi sebuah konten televisi janganlah berorientasi pada rating dan
pengiklan. Mengingat bahwa frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran adalah milik publik yang
sangat terbatas, lembaga penyiaran sudah sewajibnya menciptakan konten yang berorientasi
kepada kepentingan publik dan penuh tanggung jawab sosial dengan menyajikan
konten-konten yang berkualitas.
[1] Widyaningrum
dan Christiastuti dalam Venansius DavyGian
A, skripsi: Interpretasi Khalayak
Terhadap Acara Reality Show “Tolong”
di SCTV,
jurusan ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas
Diponegoro, 2016.
[2] Motulz Media Center
dalam Venansius DavyGian A, skripsi: Interpretasi
Khalayak Terhadap Acara Reality Show “Tolong”
di SCTV,
jurusan ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas
Diponegoro, 2016.
[3] https://www.brilio.net/selebritis/3-acara-reality-show-tv-ini-diduga-settingan-lho-menurut-kamu-gimana-1702072.html
[4] Jean
Baudrillarard, (New York: Semiotext(e), 1983), In the Shadow of the Silent
Majorities dalam https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:foOOf8OpByIJ:https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/14990/Mjk4NjQ%3D/Hiperealitas-dalam-tayangan-reality-show-analisis-wacana-kritis-hiperealitas-dalam-relasi-tidak-setara-perempuan-terhadap-laki-laki-di-tayangan-reality-show-termehek-mehek-bulan-Juli-Agustus-2009-abstrak.pdf+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
[5] Rizteer,
G.R., & Goodman, D. J., (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern, hal. 678, dalam https://www.slideshare.net/mankoma2012/teori-semiotika-media
[6] Morisan,
(Jakarta: kencana 2008), Jurnalistik
Televisi Mutakhir, h. 228.
[7] Vincet
Mosco, Political economy of
Communication,hal.127.
[8] Ibid.,
hal. 133
[9] Burton, 2008; Mufid, 2009; dan Halim, 2013
dalam https://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2015/11/05/82767/pemirsa-dan-perdagangan-manusia-dalam-infotainmen.html
[10] Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, 2012, diakses pada www.kpi.go.id
Komentar
Posting Komentar