Bijak Gunakan Trotoar

Trotoar di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat
Ramainya suara para pedagang sangat terasa saat melewati jalur trotoar di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mereka berlomba-lomba menawarkan produk dagangannya kepada para pejalan kaki yang lewat. Mulai dari pedagang makanan ringan, dan minuman, hingga pakaian, semua ada di sini.
Beberapa pejalan kaki juga tidak terlihat terganggu dengan kehadiran mereka. Bahkan ikut meramaikan aktifitas jual-beli di trotoar. Tanah Abang memang seperti pusat lalu-lalang manusia karena dekat dengan stasiun kereta ataupun terminal bis. Posisi strategis membuat Tanah Abang digemari para pedagang kaki lima (PKL). Mereka memilih untuk menjajakan jualannya di daerah ini dan memakai  jalur trotoar sebagai tempat berjualan.
Ungkapan ‘peraturan dibuat untuk dilanggar’ mungkin sudah mendarah-daging di dalam diri banyak orang. Pasalnya, tidak jauh dari pintu keluar stasiun Tanah Abang, terdapat tulisan ‘Dilarang Jualan di Area Ini (trotoar)’. Namun, nyatanya banyak PKL yang masih tetap berjualan di trotoar. Menurut definisinya, trotoar dibuat untuk memfasilitasi para pejalan kaki. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 131 ayat 1 yang mengatakan, "Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.”

Berdasarkan pengertian tersebut, jelaslah bahwa trotoar merupakan fasilitas umum yang dibuat khusus untuk pejalan kaki. Namun, kenyataannya hak-hak pejalan kaki kini sering dirampas, banyak pelanggaran yang terjadi dalam pemanfaatan trotoar sebagai fasilitas umum.

Pelanggaran-pelanggaran dalam pemanfaatan trotoar

1. Trotoar dijadikan tempat berjualan
Pedagang pakaian menutupi sebagian besar jalur trotoar 

untuk berjualan

Pelanggaran yang pertama adalah trotoar dijadikan tempat berjualan. Hal ini juga bisa disebut sebagai privatisasi trotoar, yaitu saat trotoar dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Salah satu pedagang yang kami wawancara, Udin, mengaku membayar uang sewa kepada preman, yaitu sebesar RP 175.000 setiap bulannya. Hal ini menjelaskan bahwa praktek privatisasi terhadap trotoar benar-benar terjadi padahal trotoar merupakan fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah secara gratis bagi para pejalan kaki.

Udin juga menyadari kesalahannya karena telah mengambil hak pejalan kaki dengan berjualan di trotoar. Tetapi, ia tidak memiliki pilihan lain. “Sebenernya sih memang kita bisa dibilang melanggar. Melanggar, iya. Tapi namanya juga pedagang kecil,” kata Udin. “Kita ga punya modal, jadi gimana mau kontrak di dalem gedung. Kita aja dagang cuma buat dapur ngebul,” lanjutnya saat ditemui di kawasan pasar Tanah Abang.

Jika ada razia dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Udin tetap menghindar. Tapi dia akan kembali ke tempat yang sama, saat razia telah usai. “Kalo misalnya ada razia besar-besaran, kita dikasih tahu untuk tidak dagang. Jelas penghasilan gak ada. Tapi kalo cuma sehari, bisa ditambal di hari berikutnya. Kemarin, kita sempet gak dagang dua bulan karena ada penertiban trotoar,” kata Udin yang mengaku akan mendapat info razia dari preman sekitar.

Udin sebenarnya tidak menolak jika dagangannya dirazia atau digusur. Asalkan dirinya diberi solusi yang tepat. Bukan jadi kehilangan tempat, dan tidak bisa mencari penghasilan. “Kita sangat mendukung andai kata diberikan pelatihan, dan tempat. Tapi sesuai dengan kantong juga. Di sini, kita bayar 175 ribu ke preman. Terus ada tambahan 50 ribu untuk bayar listrik ke pasar. Sebulan sekitar 225 ribu, kita sanggup,” akunya.

2.   Trotoar  dijadikan jalur alternatif saat kemacetan terjadi
Penyalahgunaan fungsi trotoar juga sering terjadi saat kemacetan terjadi. Sering kali, para pengemudi motor naik dan menggunakan jalur trotoar untuk menghindari kemacetan. Hal ini membuat keselamatan para pejalan kaki terancam.

Seperti yang diungkapkan salah satu pejalan kaki, Aip, ia merasa sangat terganggu saat pengendara motor menggunakan trotoar saat kemacetan terjadi. “Kalo yang ngeganggu itu kalo motor-motor pada naik ke trotoar,” ujarnya saat ditemui di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

3.  Trotoar Dijadikan Lahan Parkir Kendaraan Bermotor

Selain banyaknya pedagang yang berjualan di atas trotoar, penggunaan trotoar kerap kali disalahgunakan sebagai lahan parkir kendaraan bermotor. Sering terlihat motor dan mobil parkir di lahan trotoar, sehingga menutupi sebagian besar ataupun keseluruhan lebar trotoar.

Selain itu, pengendara ojeg konvensional maupun ojeg online juga sering kali menggunakan trotoar sebagai tempat mangkal mereka sembari menunggu penumpang. Hal tersebut menyebabkan lebar trotoar semakin sempit dan membuat para pejalan kaki terpaksa turun ke badan jalan dan berbagi jalan dengan kendaraan yang melintas.

Trotoar yang ideal
Banyaknya penyalahgunaan trotoar, membuat aktivis-aktivis yang tergabung dalam Koalisi Pejalan Kaki (KoPK) gerah. Koalisi ini awalnya terbentuk karena banyaknya pemotor yang naik ke trotoar untuk menghindari kemacetan. Mereka sering terjun ke jalanan untuk menyuarakan kepentingan pejalan kaki, seperti kenyamanan dan keselamatan dalam berjalan di trotoar. Aksi-aksi yang selama ini mereka lakukan juga telah membawa hasil. Salah satunya adalah diciptakannya trotoar-trotoar baru di beberapa titik di Jakarta pada masa kepemimpinan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.
Pendiri Koalisi Pejalan Kaki, Antoni Ladj

Salah satu mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Timothy Rikie mengatakan ia suka berjalan kaki, terutama berjalan kaki di luar negeri. Menurutnya, kondisi cuaca di Indonesia, debu, dan asap knalpot membuatnya tidak nyaman untuk berjalan kaki, sehingga ia lebih memilih berkendara.

"Lagipula trotoar yang berjarak kurang dari dua meter tidak cukup nyaman untuk benar-benar bisa menikmati pengalaman berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa harus bertabrakan dengan gardu listrik, tiang lampu, atau orang yang sedang jongkok," ujar Timothy menambahkan.
Menurut pendiri Koalisi Pejalan Kaki Antoni Ladjar, trotoar yang ideal adalah trotoar yang aman dan nyaman. Bisa digunakan semua pejalan kaki, termasuk mereka yang disabilitas. “Pada saat hujan kita tidak kehujanan. Waktu kita ingin beristirahat tersedia street furniture untuk tempat berhenti sejenak. Ada juga halte-halte yang bisa menghubungkan kendaraan umum dengan mudah,” ungkap Antoni saat ditemui di Kantor KoPK, Sarinah, Jakarta Pusat.

Untuk mewujudkan trotoar  yang ideal tersebut tentunya harus ada tindakan langsung dari pemerintah. “Pemerintah harus sigap dengan keadaan, melihat dan turun langsung ke jalan. Harus mendengar keluhan-keluhan masyarakat, dan langsung menanganinya,” tambah Laeli Fitria, salah satu aktivisi KoPK. 

Jangan Disia-siakan
Tentu saja upaya dari pemerintah dalam membuat trotoar yang ideal harus didukung oleh kesadaran setiap orang agar  bijak dalam menggunakan trotoar. Jangan sampai trotoar dan fasilitas umum lainnya sudah dibuat, tetapi tidak dipakai dan malah disia-siakan.  Dalam hal ini, pejalan kaki harus bisa menggunakan trotoar seoptimal mungkin. Jangan sampai Indonesia dikatakan sebagai warga termalas untuk jalan kaki (lagi), (berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan Universitas Stanford, Juli tahun lalu). 

Selain itu, bedasarkan pandangan mata, di sekitaran daerah Gading Serpong, Tangerang Selatan, para pejalan kaki juga lebih senang menyebrang menggunakan kekuatan tangan mereka dibanding menggunakan jembatan penyebrangan yang sudah tersedia. Jembatan penyebrangan lebih sering digunakan masyarakat Jakarta ketimbang masyarakat Tangerang Selatan, karena mereka memiliki kepentingan transportasi. Jika ingin menggunakan bis Trans Jakarta, para calon penumpang wajib menggunakan jembatan penyebrangan untuk masuk ke halte. Mereka yang hanya ingin sekedar menyebrang tidak bisa lewat jalur kendaraan karena setiap sisi memiliki pembatas tersendiri. Entah itu tanaman, ataupun pagar.
Terkadang kita sering lupa. Menyalahkan para pedagang yang bejualan sebagai alasan trotoar tidak nyaman. Padahal sekalipun trotoar atau fasilitas para pejalan kaki sudah nyaman, jarang juga kita gunakan. Masalah utamanya bukan pedagang, tetapi trotoar.

“Selama trotoar kita nyaman, dan masih bisa dilewati oleh pejalan kaki, tidak masalah jika pedagang berjualan di situ. Toh, kita juga masih punya ruang untuk menggunakan. Tidak ada salahnya berbagi,” kata Aip, ketika sedang membeli makanan di tempat dagang Udin.
Trotoar memang merupakan hak pejalan kaki. Namun, jika kita sebagai pejalan kaki membuang sia-sia hak tersebut,  bukankah wajar jika pelanggaran-pelanggaran itu terjadi? Jadi, mari mulai berjalan kaki dengan menggunakan fasilitas trotoar yang sudah ada dengan bijak


https://www.youtube.com/watch?v=FIRyMXG3Y3Q&t=16s

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyusuri Hulu Hilir Selokan Mataram

Pelangi: Toleransi dan Keberagaman

Before The Flood: Belajar Mencintai Alam